Rabu, 07 September 2011

Maaf, Eyang S Sudah Mati

 

Ajaran agama memerintahkan agar kita selalu mengampuni musuh. Budaya Jawa menganjurkan untuk menghormati orang yang lebih tua. Begitulah,  tak sedikit pun saya meragukan kebenaran nilai-nilai yang terkandung dari ajaran-ajaran itu.

Bagiku, Eyang S adalah orangtua, guru, sesepuh yang pantas dihormati. Beliau seorang pejuang kemanusiaan yang jasanya tidak sedikit. Sepersekian ruas umurnya sudah dia berikan untuk pengabdian yang panjang, melelahkan karena menempuh jalan yang tidak mudah.

Atas nama itu semua, Eyang S adalah sosok yang pernah aku tempatkan begitu tinggi. Keringkihan raganya, kesederhanaannya, tak pernah membuatku ragu untuk menempatkannya sebagai seorang pemimpin. Belasan tahun aku menaati dan menjalankan semua perintahnya tanpa reserve.

Tetapi waktu telah menguji dan membuktikan kebenaran hakiki, bahwa kesempurnaan bukanlah milik manusia. Eyang S mungkin memiliki alasan untuk mengkhianati orang-orang jujur yang setia kepadanya. Dan pada gilirannya, apa yang pernah kita perjuangkan bersama-sama, perlahan rontok ke arah hancur.

Eyang, aku bukan seorang pendendam. Bukan bermaksud kurang ajar, tapi agar bisa tetap menghormatimu, izinkan saya menguburmu dalam sebuah monumen di hatiku. Kuanggap Eyang S sudah mati, agar aku bisa tetap mengenangmu sebagai seorang pemimpin pejuang di masa lalu, tanpa akhir buruk yang tak perlu.

Monumen itu akan terus mengajariku dan semoga juga anak cucuku, tentang bagaimana mengenali kawan dengan sebenar-benarnya tanpa menjadi paranoid, mengkaji kesetiaan dan ketulusan orang-orang di sekitar kita tanpa dibayangi rasa selalu curiga.

Bahwa kini masih hidup seorang pria bernama S, suatu saat semoga aku masih bisa menyapanya dengan hati bersih.

Avignam Jagad Samagram.

3 komentar:

  1. Dalam arti harfiah? kok ga ada kabar? barusan mampir juga ga ada info.

    BalasHapus
  2. hehehehe... berharap semoga masih sempat menyapa...

    BalasHapus