Senin, 12 Maret 2012

Harapan Tidak Macet di seputar Solo Paragon



 Foto ini jepretan temanku Kurniawan Arie Wibowo, wartawan Joglosemar.




Solo makin ramai. Memang sulit dihindari, daya tarik kotaku yang semakin genit dan seronok ini, sudah bisa menyedot banyak perhatian, kunjungan, bahkan investasi. Buktinya, Solo Paragon, gedung terjangkung di Jawa Tengah itu tumbuh di kotaku.

Dulu, di kawasan Mangkubumen itu adalah rumah sakit pemerintah, RSUP dr Moewardi, peninggalan masa penjajah Belanda, yang dulu disebut Ziekenzorg. Terletak dalam jepitan sudut sembilan puluh derajat Jalan Yosodipuro dan Jalan Ciptomangkunkusumo.

Pertemuannya adalah titik paling horor, wong Solo menyebutnya perempatan kamar mati, karena tepat di sudut itu ada instalasi kamar mayat rumah sakit yang bentuk jendelanya melengkung-lengkung mirip gereja. Malah konon dulunya memang berfungsi sebagai kapel, sewaktu masa penjajahan Belanda dulu.

Jalan Yosodipuro dan Ciptomangunkusumo, adalah jalan yang tidak seberapa lebar. Tetapi seingatku, dulu kedua jalan itu memang tidak pernah terlalu ramai. Dengan naungan pohon flamboyan, cemara dan kini pelan-pelan tergantikan oleh akasia dan sebangsanya, sungguh nyaman mengayuh sepeda di sana.

Kini semua telah berlalu. Sejak era Orde Baru, tahun berapa lupa, rumah sakit itu ditukar guling dan konon berpindah tangan ke salah satu anak Presiden Soeharto. Dan setelah sempat mangkrak bertahun-tahun, lahan bekas rumah sakit itu dibangun untuk Solo Paragon.

Kini, Solo Paragon menghadirkan mal, hotel, apartemen dan super market yang terintegrasi dalam satu kawasan. Bisa dibayangkan, tambahan ratusan kendaraan setiap hari akan menuju dan meninggalkan kompleks itu. Jalan Yosodipuro yang sudah mulai macet karena kehadiran sejumlah sekolah elite, rumah sakit, menjadi semakin padat.

Parahnya kemacetan, sudah semakin terasakan hingga Jalan Muwardi. Puncaknya adalah ketika Lapangan Kota Barat digunakan untuk upacara atau hajat kota lainnya, sehingga Jalan Muwardi harus ditutup. Arus lalu lintas dari arah Manahan, mau tidak mau hanya bisa berbelok ke Jalan Hasanuddin dan Yosodipuro dan terjebak kemacetan yang menjengkelkan.

Mungkin ada yang bisa dilakukan Pemerintah Kota Solo untuk mengatasi kemacetan rutin yang terjadi di kawasan Mangkubumen itu. Apa boleh buat, akses di barat kota yang selama ini kurang perhatian, harus dibuka agar beban arus lalu lintas bisa sedikit terbagi.

Akses baru itu misalnya dengan membuat perlintasan pintu kereta api di Gremet, sehingga dari depan Mapolresta Surakarta, Manahan, arus yang akan ke kota bagian barat selatan, bisa menghindari Jalan Muwardi dan memilih rute Jalan KS Tubun, menyeberang lintasan kereta api dan masuk ke Jalan Hasanuddin, Brengosan, atau Jalan Melati langsung ke Jalan Slamet Riyadi. Tentu, akan semakin bagus jika akses itu berupa flyover atau underpass, karena frekuensi lalu lintas kereta api double track di jalur itu, cukup padat.

Jika pembukaan akses jalan itu dipadukan dengan penataan parkir di sekolah-sekolah elite (uji coba yang sudah dilakukan di SMP/SMA Ursulin terbukti sangat berhasil menguraikan macet di Jalan Adisucipto), juga penataan dan penambahan fasilitas angkutan umum untuk menggantikan kendaraan pribadi, kayaknya Kota Solo bakal semakin nyaman dan menarik untuk siapa saja.

Rabu, 22 Februari 2012

Aku dan Temanku















Berteman itu sesuatu yang bulat
Kita menggelinding ke arah yang sama, selalu arah yang sama
Juga memantul hingga ketinggian yang sama, untuk kembali melenting bersama pula
Teman tidak merebut, tapi berbagi
Bukan menggurui, tapi mengisi
Tidak mengekang, hanja menjaga

Bahkan tak perlu dendam manakala seorang teman berkhianat
Mungkin dia hanya lupa atau bosan

Sedangkan kita semua terlalu banyak kesempatan untuk memilih simpangan jalan
Demikian

Solo, awal Februari 2012

Kamis, 12 Januari 2012

Sebuah Tempat di Seberang Titian




Jalan itu membentang labil di ketinggian
Hitam yang menggambarkan lapuk serta tipu muslihat licin
Dingin dan lembab menjanjikan karat,
membunuh dan melapukkan apa pun yang tadinya kokoh kuat.

Aku sering memimpikan, suatu saat aku bisa mencapai padang rumput hijau di ujung titian itu. Menemukan kejayaan, kemakmuran dan kematangan sebuah proses. Membuang retak-retak harapan dan meninggalkannya seperti cangkang telur di hari seekor anak elang menetas.

Bertahun sudah pengembaraan ini kulalui. Lalu, ketika semuanya sudah melewati paruh waktu, masih ada titian keparat yang terayun-ayun di ambang nalar, yang sangat boleh jadi ujungnya adalah utopia belaka. Atau benar-benar sebuah tempat penghentian yang menjanjikan.

Hoiii.... ayo kamu bisa! Ah suara itu menjemukan.
Kumpulkan keberanian dan melangkahlah dengan cermat penuh perhitungan!. Ah, nasihat klise.

Kalian juga tahu, aku pasti akan ayunkan kaki. Menembus fatamorgana yang tak ingin kutahu senyata apa. Terlalu sepele untuk melibatkan rasa. Maka, tak perlu suka, cukup lakukan saja.


Selasa, 20 September 2011

Terimakasih Mahafisippa


foto nyusul bentar lagi 


Orang belajar dari banyak hal untuk menjadi sesuatu. Rasanya, selain belajar dari lingkungan terdekatku yakni keluarga, lalu pendidikan formal di sekolah dan sepotong-sepotong bangku kuliah, aku tak boleh melupakan salah satu sekolah terhebatku: Mahafisippa (Mahasiswa FISIP Pecinta Alam).

Ya, ini unit kegiatan pecinta alam di kampus Universitas Sebelas Maret yang meski aku tak terlalu lama aktif di sana, tapi organisasi berlambang burung elang dalam segitiga itu sudah memberi warna dasar yang kuat bagiku.

Ceritanya, waktu kuliah di FISIP, Mahafisippa berhasil memikatku untuk masuk sebagai anggota. Maklum, sejak SMP (bahkan SD) aku sudah suka kegiatan berkemah, juga sesekali naik gunung dan berlatih Search And Rescue saat SMA.  Klop, meski tak pernah jadi pengurus atau pioneer, aku belajar banyak dari organisasi yang gila ini.

Kusebut gila karena MFP (begitu Mahafisippa biasa disebut) saat itu bisa menjadi unit kegiatan terkuat di kampus. Salah satu perannya, bisa menjadikan kampusku tetap netral dari pengaruh macam-macam warna yang waktu itu sudah merambah fakultas-fakultas lain.

Pluralis, egaliter, disiplin, kompeten, tapi juga kemproh ... adalah hal yang tak terpisahkan dari MFP dari dulu. Paduan yang unik, misalnya saat itu kami mencintai pakaian dekil dan kumal sebagai simbol tingginya “jam terbang” seorang pendaki. Tetapi, kebersihan alat, kerapian packing dan sepatu PDL ABRI yang tersemir mengkilap adalah sesuatu yang wajib.

Tentang sepatu militer itu, maklum, waktu itu sepatu tracking belum marak seperti sekarang. Kalaupun ada, harganya mahal tak terjangkau. Lagipula, sepatu PDL tentara adalah perlengkapan wajib dalam pendidikan dasar kami yang meski dalam skala mikro mengacu pada pola pendidikan Wanadri, salah satu perhimpunan pendaki dan penempuh rimba terbagus di negeri ini.

Satu hal lagi, kekeluargaan di MFP cukup erat. Seorang MFP tua pasti akan menerima siapa pun yunior yang mungkin tak dikenalnya, asal dia muncul di depannya dan berteriak “MFP Lapor !”

Foto di atas adalah ketika aku menjalani Pendidikan Dasar II Mahafisippa di lereng Merbabu, tahun 1986 di Kalipancur, Kecamatan Getasan, Salatiga. Lembah yang masih alami, dengan air terjun, monyet, kalajengking, anjing liar, buah gowok dan pohon kayu manis di mana-mana. Empat hari empat malam kami jarang kering karena saat itu lagi musim hujan, tapi kebersamaan tim terbangun kokoh sejak itu.

Kalau di bawah ini foto-foto  waktu kami naik Gunung Semeru tahun 1987. Perjalanan yang seru, kami 17 orang merambah puncak Pulau Jawa.

Sampai hari ini aku masih anggota Mahafisippa, karena masa berlakunya memang seumur hidup. Sungguh, aku bersyukur dan bangga pernah belajar di sana.


Kamis, 15 September 2011

Idiot Day





Waktunya istirahat tidur disuruh bangun. Diputerin film jelek. Harus mendengarkan cerita usang dengan pasang wajah penuh perhatian. Pertanyaan-pertanyaan curang, yang aku sudah tahu jawabnya. Dan, benar kan, tidak dijawab juga tidak apa-apa.

Disuruh bernafas, tepuk tangan untuk sesuatu yang tidak jelas. Tak jarang memang, waktuku terbuang untuk sesuatu yang kurang berguna. Tapi inilah yang aku sebut idiot day, ketika untuk semua ketololan ini aku malahan harus mengucapkan terima kasih dan diharapkan besok berubah menjadi semakin baik.

Apa maumu? Mencuci otak kami dan memformatnya agar berjalan ke satu arah? Kami sudah lama melakukannya, dengan alasan yang sama sekali berbeda. Jadi, enyahlah.


Kamis, 08 September 2011

Tentang sebuah sore




Sore tadi,
kupercikkan air ke matahari
dan kudapat bias pelangi

Sayang, 
keindahannya tak kumengerti
pun tak bisa kumiliki

Rabu, 07 September 2011

Maaf, Eyang S Sudah Mati

 

Ajaran agama memerintahkan agar kita selalu mengampuni musuh. Budaya Jawa menganjurkan untuk menghormati orang yang lebih tua. Begitulah,  tak sedikit pun saya meragukan kebenaran nilai-nilai yang terkandung dari ajaran-ajaran itu.

Bagiku, Eyang S adalah orangtua, guru, sesepuh yang pantas dihormati. Beliau seorang pejuang kemanusiaan yang jasanya tidak sedikit. Sepersekian ruas umurnya sudah dia berikan untuk pengabdian yang panjang, melelahkan karena menempuh jalan yang tidak mudah.

Atas nama itu semua, Eyang S adalah sosok yang pernah aku tempatkan begitu tinggi. Keringkihan raganya, kesederhanaannya, tak pernah membuatku ragu untuk menempatkannya sebagai seorang pemimpin. Belasan tahun aku menaati dan menjalankan semua perintahnya tanpa reserve.

Tetapi waktu telah menguji dan membuktikan kebenaran hakiki, bahwa kesempurnaan bukanlah milik manusia. Eyang S mungkin memiliki alasan untuk mengkhianati orang-orang jujur yang setia kepadanya. Dan pada gilirannya, apa yang pernah kita perjuangkan bersama-sama, perlahan rontok ke arah hancur.

Eyang, aku bukan seorang pendendam. Bukan bermaksud kurang ajar, tapi agar bisa tetap menghormatimu, izinkan saya menguburmu dalam sebuah monumen di hatiku. Kuanggap Eyang S sudah mati, agar aku bisa tetap mengenangmu sebagai seorang pemimpin pejuang di masa lalu, tanpa akhir buruk yang tak perlu.

Monumen itu akan terus mengajariku dan semoga juga anak cucuku, tentang bagaimana mengenali kawan dengan sebenar-benarnya tanpa menjadi paranoid, mengkaji kesetiaan dan ketulusan orang-orang di sekitar kita tanpa dibayangi rasa selalu curiga.

Bahwa kini masih hidup seorang pria bernama S, suatu saat semoga aku masih bisa menyapanya dengan hati bersih.

Avignam Jagad Samagram.